Kamis, 29 Maret 2012

“Sang Pencerah” dan Wacana Islam Liberal

Oleh: Akmal Sjafril, M.Pd.I.



F
ilm Sang Pencerah menggenapi rangkaian film bernapaskan Islam yang kini telah menjadi arus tren tersendiri di Indonesia.  Di antara gelombang film-film horor dan komedi murahan yang hanya mengandalkan pengumbaran aurat para pemerannya (bahkan sampai perlu mengimpor bintang-bintang film porno), telah nyata terbukti bahwa masyarakat pun sangat haus akan hiburan yang Islami; sebentuk penghiburan yang menawarkan rekreasi pikiran sekaligus juga sarat akan nasihat dan hikmah.  Ini adalah sebuah kemajuan yang sangat menggembirakan.
            Tidak diragukan lagi bahwa film Sang Pencerah adalah sebuah titik penting dalam sejarah perfilman Indonesia, karena ia menceritakan episode kehidupan seorang tokoh termasyhur dalam sejarah Indonesia, yaitu K.H. Ahmad Dahlan.  Beliau adalah pendiri dari salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, pejuang, tokoh pergerakan, pendidikan, ulama kharismatik yang dianggap sebagai mujaddid dan berbagai predikat mulia lainnya.
             Berbagai kritik telah dialamatkan kepada film ini, antara lain mengenai keakuratannya dengan sejarah hidup K.H. Ahmad Dahlan yang sebenarnya.  Pada kenyataannya, referensi sejarah yang bisa digunakan untuk melakukan riset tentang tokoh pendiri Muhammadiyah ini memang sangat terbatas.  Beliau bukan seorang penulis – lebih dikenal sebagai tipe ‘praktisi’ – sehingga orang yang hidup pada abad ke-21 akan merasa cukup kesulitan untuk menggali gagasan-gagasannya.
            Artikel singkat ini takkan mengulang kembali kritik-kritik membangun yang telah disampaikan perihal kandungan film Sang Pencerah.  Pembahasan ini akan mencakup seputar wacana Islam liberal yang ikut ‘menunggangi’ kesuksesan film Sang Pencerah berikut beberapa konsekuensi yang mengikutinya.

Islam Liberal
            Nama “Islam liberal” mulai mengemuka beberapa saat setelah memasuki dasawarsa ketiga.  Wacana ini baru mengemuka di tanah air, terutama setelah dimuatnya artikel karya Ulil Abshar-Abdalla yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” di harian Kompas, edisi 18 November 2002.  Artikel yang kemudian dikritik keras oleh alim-ulama ini membuat nama Jaringan Islam Liberal (JIL) semakin dikenal luas.
            Kalangan cendekiawan Muslim beranggapan bahwa wacana yang diangkat oleh kalangan Islam liberal sebenarnya bukan hal-hal baru, melainkan hanya perpanjangan dari isu-isu yang pernah disampaikan oleh Nurcholish Madjid sebelumnya.  Bisa dikatakan, munculnya wacana Islam liberal menandai berakhirnya era ‘Nurcholish-isme’, digantikan oleh kalangan muda JIL yang tidak kalah gencarnya dalam mengartikulasikan pemikirannya.
            Akan halnya wacana Islam liberal itu sendiri, tidaklah mudah mendefinisikannya, karena para penggunanya pun tidak memberikan definisi yang pasti.  Adian Husaini dan Nuim Hidayat telah menggarisbawahi masalah ini ketika menyoroti sikap Charles Kurzman yang mendua terhadap bukunya sendiri.  Dalam buku yang beredar di Indonesia dengan judul Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global ini, Kurzman justru memulai pengantarnya dengan menggugat nama “Islam liberal” itu sendiri.  Pada kenyataannya, penyematan nama “liberal” setelah Islam memang merupakan sebuah kontradiksi yang sulit untuk diabaikan begitu saja, karena Islam adalah agama yang bersumber dari ketundukan kepada Allah SWT dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.  Islam jelas tidak liberal.[1]
            Dalam bukunya itu, Kurzman tidak menawarkan definisi yang jelas untuk istilah “Islam liberal”.  Sebaliknya, ia justru mengutip pendapat Ali Asghar Fyzee, “Kita tidak perlu menghiraukn nomenklatur, tapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu Islam liberal.”  Istilah lain yang ditawarkannya adalah “Islam Protestan”.  Luthfi Assyaukanie, tokoh JIL lainnya, menyambut kedua istilah ini, “Dengan istilah ini (“Islam Protestan” atau “Islam Liberal”), Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.”[2]
            Untuk menjelaskan jati diri Islam liberal, situs JIL menawarkan enam landasan sebagai berikut: (1) Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, (2) mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, (3) mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, (4) memihak pada yang minoritas dan tertindas, (5) meyakini kebebasan beragama, dan (6) memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.[3]  Dari deskripsi enam landasan ini, kita dapat memahami karakter relativisme dan sekularisme yang tak mungkin dipisahkan dari JIL dan keseluruhan wacana Islam liberal pada umumnya.

Islam Liberal dan Muhammadiyah, dari Masa ke Masa
            Selain tidak memberikan definisi yang memuaskan untuk istilah “Islam liberal”, Kurzman juga memberikan klaim serampangan dengan menyeret dua nama ulama besar, yaitu Moh. Natsir dan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi.  Padahal, mencari pertentangan antara wacana-wacana yang dibawa oleh Islam liberal dengan kedua ulama ini sangatlah mudah, karena keduanya dikenal sangat keras menentang sekularisme dan liberalisme.  Selain kedua tokoh tersebut, Kurzman juga menyebut Muhammadiyah sebagai salah satu representasi organisasi-organisasi Islam liberal.[4]
            Jika sebelumnya Luthfi Assyaukanie menggambarkan karakter Islam liberal sebagai ‘wajah Islam yang berorientasi ke depan’, maka Saidiman Ahmad – salah seorang penulis yang tulisan-tulisannya banyak dimuat di situs JIL – memasukkan nama K.H. Ahmad Dahlan dalam kelompok ‘pembaharu yang berorientasi ke belakang’.  Selain beliau, Saidiman juga menyebut nama Taqiyuddin an-Nabhani, Moh. Natsir, Nurcholish Madjid, dan seluruh pengikut aliran Wahabi.[5]  Tentu saja sikap ini kontradiktif dengan pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam liberal.  Pada akhirnya, kita pun akan kembali mempertanyakan definisi Islam liberal.  Penjelasan yang logis dari fenomena kontradiksi ini adalah bahwa definisi “Islam liberal” yang diajukan oleh Luthfi Assyaukanie memang berbeda dengan yang dipikirkan oleh Saidiman Ahmad, atau salah satunya berdusta. 
Hal menarik lainnya yang perlu dicermati di sini adalah fakta bahwa – meskipun secara umum Saidiman Ahmad tidak memperlihatkan sikap yang ofensif terhadap dakwah K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah – tapi ia juga menempatkan nama beliau dalam gerbong yang sama dengan golongan Wahabi dan Taqiyuddin an-Nabhani, padahal keduanya sangat dimusuhi oleh para pengusung Islam liberal.  Barangkali yang lebih kontroversial lagi adalah dituliskannya nama Nurcholish Madjid dalam barisan yang sama.
            Meski nama-nama di atas disebut juga sebagai pembaharu, Saidiman rupanya bersikap setengah hati dengan predikat tersebut.  Dalam paragraf yang sama, ia menegaskan bahwa pembaharu yang sebenarnya adalah ‘yang benar-benar mau menjadi katalisator dalam gerakan pembaruan’.  Untuk kelompok ‘pembaharu yang murni’ ini, Saidiman hanya mengajukan satu nama: Ahmad Wahib.  Ahmad Wahib adalah salah seorang peserta forum diskusi tertutup yang dikenal dengan nama “Limited Group”, beranggotakan antara lain Mukti Ali, Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo.  Di antara sahabat-sahabatnya ini, Ahmad Wahib dianggap cukup menonjol.  Setelah ia meninggal di usia sangat muda akibat sebuah kecelakaan lalu lintas, kawan-kawannya mengedit dan menerbitkan buku hariannya yang diberi judul Pergolakan Pemikiran Islam.  Di kalangan tertentu, buku ini menjadi semacam ‘bacaan wajib’.  Jauh sebelum wacana Islam liberal bergulir, Ahmad Wahib telah menguraikan pemikiran-pemikiran ‘nakal’ dalam catatan hariannya, antara lain mengenai relativisme kebenaran, keabsolutan ajaran Islam, bahkan mengkritisi Islam itu sendiri.
            Beberapa kalangan cendekiawan Muhammadiyah pun terlibat aktif dalam wacana yang kemudian mendapat nama “Islam liberal” ini.  Nama Dawam Rahardjo terlihat begitu menonjol sebagai representasi pemikir muda Islam liberal dari kalangan Muhammadiyah.  Meski demikian, hubungan Dawam dengan Muhammadiyah ditakdirkan untuk berakhir tragis seiring dengan ‘pemecatan’ dirinya oleh PP Muhammadiyah.  Peristiwa ini, tentu saja, mendapat kritik sangat keras dari kalangan JIL.  Tidak hanya menyampaikan kritik keras, kalangan JIL bahkan mempertanyakan kepemimpinan Din Syamsuddin.
Pemecatan M. Dawam Rahardjo dari keanggotaannya di Muhammadiyah menambah satu lagi catatan buruk sejarah kontemporer Muhammadiyah. Pemecatan ini merupakan kulminasi dari proses puritanisasi yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah sejak dua tahun terakhir. Sebagian orang menganggap bahwa radikalisasi --atau puritanisasi-- dalam Muhammadiyah terjadi sejak Dien Syamsuddin memimpin organisasi Islam terbesar kedua setelah NU itu. Tapi ada yang mengatakan bahwa naiknya Dien justru merupakan konsekwensi dari kecenderungan puritanis dalam Muhammadiyah belakangan ini. Dien hanyalah seorang “pemanfaat” situasi yang kebetulan disukai oleh kaum puritanis itu.[6]
            Dalam uraiannya, Luthfi Assyaukanie mencoba ‘mengingatkan’ semua orang bahwa Muhammadiyah berdiri dengan semangat pembaharuan yang mengangkat umat Islam dari kebodohan menuju pencerahan.  Semangat keterbukaan yang dibawanya membuat ormas yang satu ini menyebar dengan mudah hingga ke Sumatera, terutama di Sumatera Barat.  Hanya saja, menurut Luthfi, kini Muhammadiyah telah kehilangan pijakan, sehingga terlihat begitu puritan dan enggan menerima gagasan-gagasan pembaharuan yang dibawa oleh Dawam Rahardjo.  Luthfie menutup artikelnya dengan sanjungan yang tinggi kepada Dawam dan kecaman keras kepada pengurus Muhammadiyah.
Peran Dawam Rahardjo sangat besar dalam meneruskan cita-cita pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Sama seperti Nurcholish Madjid di Jakarta, Dawam melakukan pembaruan Islam dari Yogyakarta. Bagi orang-orang di luar Muhammadiyah, Dawam merupakan tokoh yang menetralkan citra Muhammadiyah dari kecenderungan puritannya. Karena itu, saya menganggap sebuah kebodohan dan kesalahan besar telah dilakukan para pengurus Muhammadiyah yang dengan semena-mena telah memecatnya.[7]
            Selain melalui beberapa tokoh, pergulatan wacana Islam liberal di tubuh Muhammadiyah juga kemudian terwujud dalam sebuah organisasi yang diberi nama Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).  Akan tetapi, sejak awal kelahirannya, JIMM sudah mendapat penentangan keras dari sebagian warga Muhammadiyah, karena ia dianggap tidak mewakili pandangan resmi Muhammadiyah.  Moh. Shofan, seorang tokoh JIMM, juga terang-terangan mengakui bahwa JIMM adalah sebuah komunitas yang tidak ada hubungan struktural dengan Muhamadiyah, meskipun personel-personelnya adalah warga Muhammadiyah.  Sebagaimana Luthfi Assyaukanie, Moh. Shofan pun beranggapan bahwa Muhammadiyah telah mengalami disorientasi sehingga tidak lagi menjadi pengusung gerakan kultural yang dicirikan oleh kaum intelektual.[8]
            Dalam kata pengantarnya untuk buku karya Moh. Shofan yang berjudul Dari Puritanisme ke Fundamentalisme: Muhammadiyah Berbalik Arah, Ulil Abshar-Abdalla, mantan koordinator JIL, memberikan sanjungan yang sangat tinggi kepada sang penulis buku seraya menekankan kembali kekecewaannya pada Muhammadiyah.
Dalam buku ini, kita bisa melihat posisi intelektual M. Shofan sebagi seorang Muslim yang bisa menerima dengan positif ide tentang pluralisme.  Ia tidak saja menerima gagasan pluralisme itu sebagai sesuatu yang datang dari luar, tetapi mencoba mendialogkannya dengan iman dia sebagai seorang Muslim.  Karena posisi intelektual yang ia ambil ini, M. Shofan menanggung resiko yang lumayan berat, yaitu dipecat dari kedudukannya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik. Ini tentu menyedihkan dan patut disayangkan.  Muhammadiyah yang lahir pertama-tama sebagai gerakan pembaharuan justru menutup pintu bagi kadernya sendiri yang ingin melaksanakan semangat itu.  Saya tentu menaruh respek yang besar pada M. Shofan yang berani mengambil suatu posisi intelektual tertentu tanpa takut menghadapi resiko yang muncul dari sana.  Dalam hal ini, M. Shofan hadir di hadapan kita sebagai seorang pemikir yang memiliki integritas.[9]
            Jika sebelumnya Moh. Shofan – sebagai aktivis JIMM – telah menegaskan bahwa JIMM tak ada hubungan struktural dengan Muhammadiyah, maka Muhammad Asratillah Senge, seorang aktivis JIMM dari Sulawesi Selatan, telah berani membicarakan perihal ‘Post-Muhammadiyah’.  Menurutnya, predikat “Gerakan Islam modern” adalah ungkapan yang tepat untuk disematkan pada Muhammadiyah.  Pada saat yang bersamaan, Asratillah menganggap bahwa modernisme itu identik dengan etika Protestanisme.  Jika sebelumnya Asghar Ali Fyzee menggunakan istilah “Islam Protestan” – dan disetujui oleh Luthfi Assyaukanie – maka kini Asratillah pun menyebut Muhammadiyah sebagai model ‘Islam Protestanis’.  Dalam uraiannya, ia mengutip pendapat Sukidi, salah satu pendiri Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dalam artikel “Muhammadiyah Sebagai Reformasi Islam Model Protestan”.[10]
            Pada perkembangannya, beberapa tokoh Muhammadiyah dikenal telah memberikan sumbangan dalam propaganda wacana Islam liberal.  Abdul Munir Mulkhan telah menulis banyak (baik dalam bentuk buku, artikel atau makalah) seputar pluralisme agama, misalnya dalam buku Satu Tuhan Seribu Tafsir.  Nama Amin Abdullah juga dikenal luas sebagai pengusung metode hermeneutika; sebuah metode penafsiran yang diadopsi dari penafsiran Bibel.  Bahkan Ahmad Syafii Maarif pun kerap disebut-sebut sebagai pemimpin ‘gerbong pluralisme’ dari kalangan Muhammadiyah.  Meski demikian, sebagaimana yang diakui oleh para peneliti dari kalangan Islam liberal sendiri, warga Muhammadiyah pada umumnya tidak bisa menerima begitu saja wacana-wacana yang mereka bawa.  Hal ini disebabkan oleh karakter Muhammadiyah yang mengusung pembaharuan (tajdid) melalui jalan purifikasi agama Islam.  Dengan demikian, pembaharuan yang dimaksud bukan melalui pengadopsian pemikiran-pemikiran Barat, namun dengan membebaskan umat melalui ajaran Islam yang utuh dan sebenarnya.

Menunggangi “Sang Pencerah”
            Patut disayangkan, niat baik yang kemudian melahirkan sebuah karya yang patut dibanggakan, yaitu film Sang Pencerah, justru kemudian dimanfaatkan untuk mempropagandakan wacana-wacana Islam liberal yang sebenarnya belum jelas posisinya terhadap dakwah dan ajaran Muhammadiyah.  Sikap tidak konsisten dari para pengusung wacana Islam liberal ini muncul kembali dengan dukungan yang sangat kuat terhadap film Sang Pencerah yang disertai dengan penggarisbawahan terhadap poin-poin tertentu dalam film tersebut.
            Luthfi Assyaukanie lagi-lagi sigap memberi komentar seputar Muhammadiyah.  Menurut dia, analogi antara ‘agama dan biola’ dalam film Sang Pencerah sudah sangat tepat.  Agama memang layaknya biola.  Jika ia ‘dimainkan’ oleh orang yang mengerti, maka yang keluar adalah nada-nada indah.  Sebaliknya, jika yang menggunakannya adalah orang-orang yang tidak benar-benar paham, maka lahirlah bencana yang tak berkesudahan.  Luthfi bahkan menuduh bahwa tokoh-tokoh agama yang kita saksikan sekarang ini adalah tokoh-tokoh yang dihadapi oleh K.H. Ahmad Dahlan seabad yang lalu; antibiola, anti-Barat, antiasing, dan anti pemikiran baru yang mencerahkan.[11]
            Ahmad Muttaqin, seorang pengajar di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menulis kesan-kesannya setelah menyaksikan film Sang Pencerah.
In a broader landscape, the moderation and openness legacies of Dahlan are also applicable to quest current hatreds and violence affiliated to religion that currently frequently appear. The destroying of Ahmadiyah mosque, for example, just reminds me of the bitter experience when Dahlan’s first langgar was overthrown. The blame to progressive Muslim figures as sesat (astray) reminds me accusations and derision against Dahlan as Kyai Kafir.[12]
            Senada dengan Ahmad Muttaqin, Ulil Abshar-Abdalla pun ikut menyampaikan apresiasinya terhadap film Sang Pencerah melalui akun Twitter-nya.
Film Sang Pencerah menggambarkan dg baik betapa tak mudahnya membawa gagasan baru dlm bidang agama.  Resiko dianggap kafir besar :)
            Menghadapi fenomena semacam ini, warga Muhammadiyah perlu mewaspadai penunggangan wacana Islam liberal terhadap Muhammadiyah, khususnya dengan memanfaatkan kesuksesan film Sang Pencerah.  Sementara “Islam liberal” sendiri belum tuntas didefinisikan, bahkan pada kenyataannya ia terus berubah tanpa kejelasan sikap yang memadai, maka tidak seharusnya Muhammadiyah membiarkan dirinya dilibatkan dalam arus pemikiran Islam liberal, apalagi ‘Islam Protestanis’.



[1] Adian Husaini & Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, Cet. I, hlm. 1-2.
[2] Ibid, hlm. 2.
[4] Pramono U. Tanthowi, Muhammadiyah dan Islam Liberal, 26 Januari 2002, http://islamlib.com/id/artikel/muhammadiyah-dan-islam-liberal/.
[5] Saidiman Ahmad, Misi Kenabian Gerakan Pembaruan: Reportase Diskusi Kampus di Bandung, http://islamlib.com/id/artikel/misi-kenabian-gerakan-pembaruan/.
[6] Luthfi Assyaukanie, Dawam dan Citra Muhammadiyah yang Hilang, 29 Januari 2006, http://islamlib.com/id/artikel/dawam-dan-citra-muhammadiyah-yang-hilang/.
[7] Ibid.
[8] Moh. Shofan, Second Muhammadiyah: Refleksi Tiga Tahun Perjalanan JIMM, 12 September 2006, http://islamlib.com/id/artikel/refleksi-tiga-tahun-perjalanan-jimm/.
[9] Ulil Abshar-Abdalla, Merekonstruksi Kembali Gerakan Salafiyyah, 27 Agustus 2008, http://ulil.net/2008/08/27/merekonstruksi-kembali-gerakan-salafiyyah/.
[10] Muhammad Asratillah Senge, Post-Muhammadiyah: Kado Seabad Muhammadiyah, 15 Februari 2010, http://islamlib.com/id/artikel/post-muhammadiyah-kado-seabad-muhammadiyah/.
[12] Ahmad Muttaqin, Spirit of Progressive and Moderation in ‘Sang Pencerah’, The Jakarta Post, 23 Oktober 2010.“Sang Pencerah” dan Wacana Islam Liberal
Oleh: Akmal Sjafril, M.Pd.I.



F
ilm Sang Pencerah menggenapi rangkaian film bernapaskan Islam yang kini telah menjadi arus tren tersendiri di Indonesia.  Di antara gelombang film-film horor dan komedi murahan yang hanya mengandalkan pengumbaran aurat para pemerannya (bahkan sampai perlu mengimpor bintang-bintang film porno), telah nyata terbukti bahwa masyarakat pun sangat haus akan hiburan yang Islami; sebentuk penghiburan yang menawarkan rekreasi pikiran sekaligus juga sarat akan nasihat dan hikmah.  Ini adalah sebuah kemajuan yang sangat menggembirakan.
            Tidak diragukan lagi bahwa film Sang Pencerah adalah sebuah titik penting dalam sejarah perfilman Indonesia, karena ia menceritakan episode kehidupan seorang tokoh termasyhur dalam sejarah Indonesia, yaitu K.H. Ahmad Dahlan.  Beliau adalah pendiri dari salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, pejuang, tokoh pergerakan, pendidikan, ulama kharismatik yang dianggap sebagai mujaddid dan berbagai predikat mulia lainnya.
             Berbagai kritik telah dialamatkan kepada film ini, antara lain mengenai keakuratannya dengan sejarah hidup K.H. Ahmad Dahlan yang sebenarnya.  Pada kenyataannya, referensi sejarah yang bisa digunakan untuk melakukan riset tentang tokoh pendiri Muhammadiyah ini memang sangat terbatas.  Beliau bukan seorang penulis – lebih dikenal sebagai tipe ‘praktisi’ – sehingga orang yang hidup pada abad ke-21 akan merasa cukup kesulitan untuk menggali gagasan-gagasannya.
            Artikel singkat ini takkan mengulang kembali kritik-kritik membangun yang telah disampaikan perihal kandungan film Sang Pencerah.  Pembahasan ini akan mencakup seputar wacana Islam liberal yang ikut ‘menunggangi’ kesuksesan film Sang Pencerah berikut beberapa konsekuensi yang mengikutinya.

Islam Liberal
            Nama “Islam liberal” mulai mengemuka beberapa saat setelah memasuki dasawarsa ketiga.  Wacana ini baru mengemuka di tanah air, terutama setelah dimuatnya artikel karya Ulil Abshar-Abdalla yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” di harian Kompas, edisi 18 November 2002.  Artikel yang kemudian dikritik keras oleh alim-ulama ini membuat nama Jaringan Islam Liberal (JIL) semakin dikenal luas.
            Kalangan cendekiawan Muslim beranggapan bahwa wacana yang diangkat oleh kalangan Islam liberal sebenarnya bukan hal-hal baru, melainkan hanya perpanjangan dari isu-isu yang pernah disampaikan oleh Nurcholish Madjid sebelumnya.  Bisa dikatakan, munculnya wacana Islam liberal menandai berakhirnya era ‘Nurcholish-isme’, digantikan oleh kalangan muda JIL yang tidak kalah gencarnya dalam mengartikulasikan pemikirannya.
            Akan halnya wacana Islam liberal itu sendiri, tidaklah mudah mendefinisikannya, karena para penggunanya pun tidak memberikan definisi yang pasti.  Adian Husaini dan Nuim Hidayat telah menggarisbawahi masalah ini ketika menyoroti sikap Charles Kurzman yang mendua terhadap bukunya sendiri.  Dalam buku yang beredar di Indonesia dengan judul Wacana Islam Liberal, Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global ini, Kurzman justru memulai pengantarnya dengan menggugat nama “Islam liberal” itu sendiri.  Pada kenyataannya, penyematan nama “liberal” setelah Islam memang merupakan sebuah kontradiksi yang sulit untuk diabaikan begitu saja, karena Islam adalah agama yang bersumber dari ketundukan kepada Allah SWT dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.  Islam jelas tidak liberal.[1]
            Dalam bukunya itu, Kurzman tidak menawarkan definisi yang jelas untuk istilah “Islam liberal”.  Sebaliknya, ia justru mengutip pendapat Ali Asghar Fyzee, “Kita tidak perlu menghiraukn nomenklatur, tapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu Islam liberal.”  Istilah lain yang ditawarkannya adalah “Islam Protestan”.  Luthfi Assyaukanie, tokoh JIL lainnya, menyambut kedua istilah ini, “Dengan istilah ini (“Islam Protestan” atau “Islam Liberal”), Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain, yaitu Islam yang nonortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.”[2]
            Untuk menjelaskan jati diri Islam liberal, situs JIL menawarkan enam landasan sebagai berikut: (1) Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, (2) mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, (3) mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, (4) memihak pada yang minoritas dan tertindas, (5) meyakini kebebasan beragama, dan (6) memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.[3]  Dari deskripsi enam landasan ini, kita dapat memahami karakter relativisme dan sekularisme yang tak mungkin dipisahkan dari JIL dan keseluruhan wacana Islam liberal pada umumnya.

Islam Liberal dan Muhammadiyah, dari Masa ke Masa
            Selain tidak memberikan definisi yang memuaskan untuk istilah “Islam liberal”, Kurzman juga memberikan klaim serampangan dengan menyeret dua nama ulama besar, yaitu Moh. Natsir dan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi.  Padahal, mencari pertentangan antara wacana-wacana yang dibawa oleh Islam liberal dengan kedua ulama ini sangatlah mudah, karena keduanya dikenal sangat keras menentang sekularisme dan liberalisme.  Selain kedua tokoh tersebut, Kurzman juga menyebut Muhammadiyah sebagai salah satu representasi organisasi-organisasi Islam liberal.[4]
            Jika sebelumnya Luthfi Assyaukanie menggambarkan karakter Islam liberal sebagai ‘wajah Islam yang berorientasi ke depan’, maka Saidiman Ahmad – salah seorang penulis yang tulisan-tulisannya banyak dimuat di situs JIL – memasukkan nama K.H. Ahmad Dahlan dalam kelompok ‘pembaharu yang berorientasi ke belakang’.  Selain beliau, Saidiman juga menyebut nama Taqiyuddin an-Nabhani, Moh. Natsir, Nurcholish Madjid, dan seluruh pengikut aliran Wahabi.[5]  Tentu saja sikap ini kontradiktif dengan pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam liberal.  Pada akhirnya, kita pun akan kembali mempertanyakan definisi Islam liberal.  Penjelasan yang logis dari fenomena kontradiksi ini adalah bahwa definisi “Islam liberal” yang diajukan oleh Luthfi Assyaukanie memang berbeda dengan yang dipikirkan oleh Saidiman Ahmad, atau salah satunya berdusta. 
Hal menarik lainnya yang perlu dicermati di sini adalah fakta bahwa – meskipun secara umum Saidiman Ahmad tidak memperlihatkan sikap yang ofensif terhadap dakwah K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah – tapi ia juga menempatkan nama beliau dalam gerbong yang sama dengan golongan Wahabi dan Taqiyuddin an-Nabhani, padahal keduanya sangat dimusuhi oleh para pengusung Islam liberal.  Barangkali yang lebih kontroversial lagi adalah dituliskannya nama Nurcholish Madjid dalam barisan yang sama.
            Meski nama-nama di atas disebut juga sebagai pembaharu, Saidiman rupanya bersikap setengah hati dengan predikat tersebut.  Dalam paragraf yang sama, ia menegaskan bahwa pembaharu yang sebenarnya adalah ‘yang benar-benar mau menjadi katalisator dalam gerakan pembaruan’.  Untuk kelompok ‘pembaharu yang murni’ ini, Saidiman hanya mengajukan satu nama: Ahmad Wahib.  Ahmad Wahib adalah salah seorang peserta forum diskusi tertutup yang dikenal dengan nama “Limited Group”, beranggotakan antara lain Mukti Ali, Djohan Effendi dan Dawam Rahardjo.  Di antara sahabat-sahabatnya ini, Ahmad Wahib dianggap cukup menonjol.  Setelah ia meninggal di usia sangat muda akibat sebuah kecelakaan lalu lintas, kawan-kawannya mengedit dan menerbitkan buku hariannya yang diberi judul Pergolakan Pemikiran Islam.  Di kalangan tertentu, buku ini menjadi semacam ‘bacaan wajib’.  Jauh sebelum wacana Islam liberal bergulir, Ahmad Wahib telah menguraikan pemikiran-pemikiran ‘nakal’ dalam catatan hariannya, antara lain mengenai relativisme kebenaran, keabsolutan ajaran Islam, bahkan mengkritisi Islam itu sendiri.
            Beberapa kalangan cendekiawan Muhammadiyah pun terlibat aktif dalam wacana yang kemudian mendapat nama “Islam liberal” ini.  Nama Dawam Rahardjo terlihat begitu menonjol sebagai representasi pemikir muda Islam liberal dari kalangan Muhammadiyah.  Meski demikian, hubungan Dawam dengan Muhammadiyah ditakdirkan untuk berakhir tragis seiring dengan ‘pemecatan’ dirinya oleh PP Muhammadiyah.  Peristiwa ini, tentu saja, mendapat kritik sangat keras dari kalangan JIL.  Tidak hanya menyampaikan kritik keras, kalangan JIL bahkan mempertanyakan kepemimpinan Din Syamsuddin.
Pemecatan M. Dawam Rahardjo dari keanggotaannya di Muhammadiyah menambah satu lagi catatan buruk sejarah kontemporer Muhammadiyah. Pemecatan ini merupakan kulminasi dari proses puritanisasi yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah sejak dua tahun terakhir. Sebagian orang menganggap bahwa radikalisasi --atau puritanisasi-- dalam Muhammadiyah terjadi sejak Dien Syamsuddin memimpin organisasi Islam terbesar kedua setelah NU itu. Tapi ada yang mengatakan bahwa naiknya Dien justru merupakan konsekwensi dari kecenderungan puritanis dalam Muhammadiyah belakangan ini. Dien hanyalah seorang “pemanfaat” situasi yang kebetulan disukai oleh kaum puritanis itu.[6]
            Dalam uraiannya, Luthfi Assyaukanie mencoba ‘mengingatkan’ semua orang bahwa Muhammadiyah berdiri dengan semangat pembaharuan yang mengangkat umat Islam dari kebodohan menuju pencerahan.  Semangat keterbukaan yang dibawanya membuat ormas yang satu ini menyebar dengan mudah hingga ke Sumatera, terutama di Sumatera Barat.  Hanya saja, menurut Luthfi, kini Muhammadiyah telah kehilangan pijakan, sehingga terlihat begitu puritan dan enggan menerima gagasan-gagasan pembaharuan yang dibawa oleh Dawam Rahardjo.  Luthfie menutup artikelnya dengan sanjungan yang tinggi kepada Dawam dan kecaman keras kepada pengurus Muhammadiyah.
Peran Dawam Rahardjo sangat besar dalam meneruskan cita-cita pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Sama seperti Nurcholish Madjid di Jakarta, Dawam melakukan pembaruan Islam dari Yogyakarta. Bagi orang-orang di luar Muhammadiyah, Dawam merupakan tokoh yang menetralkan citra Muhammadiyah dari kecenderungan puritannya. Karena itu, saya menganggap sebuah kebodohan dan kesalahan besar telah dilakukan para pengurus Muhammadiyah yang dengan semena-mena telah memecatnya.[7]
            Selain melalui beberapa tokoh, pergulatan wacana Islam liberal di tubuh Muhammadiyah juga kemudian terwujud dalam sebuah organisasi yang diberi nama Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).  Akan tetapi, sejak awal kelahirannya, JIMM sudah mendapat penentangan keras dari sebagian warga Muhammadiyah, karena ia dianggap tidak mewakili pandangan resmi Muhammadiyah.  Moh. Shofan, seorang tokoh JIMM, juga terang-terangan mengakui bahwa JIMM adalah sebuah komunitas yang tidak ada hubungan struktural dengan Muhamadiyah, meskipun personel-personelnya adalah warga Muhammadiyah.  Sebagaimana Luthfi Assyaukanie, Moh. Shofan pun beranggapan bahwa Muhammadiyah telah mengalami disorientasi sehingga tidak lagi menjadi pengusung gerakan kultural yang dicirikan oleh kaum intelektual.[8]
            Dalam kata pengantarnya untuk buku karya Moh. Shofan yang berjudul Dari Puritanisme ke Fundamentalisme: Muhammadiyah Berbalik Arah, Ulil Abshar-Abdalla, mantan koordinator JIL, memberikan sanjungan yang sangat tinggi kepada sang penulis buku seraya menekankan kembali kekecewaannya pada Muhammadiyah.
Dalam buku ini, kita bisa melihat posisi intelektual M. Shofan sebagi seorang Muslim yang bisa menerima dengan positif ide tentang pluralisme.  Ia tidak saja menerima gagasan pluralisme itu sebagai sesuatu yang datang dari luar, tetapi mencoba mendialogkannya dengan iman dia sebagai seorang Muslim.  Karena posisi intelektual yang ia ambil ini, M. Shofan menanggung resiko yang lumayan berat, yaitu dipecat dari kedudukannya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik. Ini tentu menyedihkan dan patut disayangkan.  Muhammadiyah yang lahir pertama-tama sebagai gerakan pembaharuan justru menutup pintu bagi kadernya sendiri yang ingin melaksanakan semangat itu.  Saya tentu menaruh respek yang besar pada M. Shofan yang berani mengambil suatu posisi intelektual tertentu tanpa takut menghadapi resiko yang muncul dari sana.  Dalam hal ini, M. Shofan hadir di hadapan kita sebagai seorang pemikir yang memiliki integritas.[9]
            Jika sebelumnya Moh. Shofan – sebagai aktivis JIMM – telah menegaskan bahwa JIMM tak ada hubungan struktural dengan Muhammadiyah, maka Muhammad Asratillah Senge, seorang aktivis JIMM dari Sulawesi Selatan, telah berani membicarakan perihal ‘Post-Muhammadiyah’.  Menurutnya, predikat “Gerakan Islam modern” adalah ungkapan yang tepat untuk disematkan pada Muhammadiyah.  Pada saat yang bersamaan, Asratillah menganggap bahwa modernisme itu identik dengan etika Protestanisme.  Jika sebelumnya Asghar Ali Fyzee menggunakan istilah “Islam Protestan” – dan disetujui oleh Luthfi Assyaukanie – maka kini Asratillah pun menyebut Muhammadiyah sebagai model ‘Islam Protestanis’.  Dalam uraiannya, ia mengutip pendapat Sukidi, salah satu pendiri Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah dalam artikel “Muhammadiyah Sebagai Reformasi Islam Model Protestan”.[10]
            Pada perkembangannya, beberapa tokoh Muhammadiyah dikenal telah memberikan sumbangan dalam propaganda wacana Islam liberal.  Abdul Munir Mulkhan telah menulis banyak (baik dalam bentuk buku, artikel atau makalah) seputar pluralisme agama, misalnya dalam buku Satu Tuhan Seribu Tafsir.  Nama Amin Abdullah juga dikenal luas sebagai pengusung metode hermeneutika; sebuah metode penafsiran yang diadopsi dari penafsiran Bibel.  Bahkan Ahmad Syafii Maarif pun kerap disebut-sebut sebagai pemimpin ‘gerbong pluralisme’ dari kalangan Muhammadiyah.  Meski demikian, sebagaimana yang diakui oleh para peneliti dari kalangan Islam liberal sendiri, warga Muhammadiyah pada umumnya tidak bisa menerima begitu saja wacana-wacana yang mereka bawa.  Hal ini disebabkan oleh karakter Muhammadiyah yang mengusung pembaharuan (tajdid) melalui jalan purifikasi agama Islam.  Dengan demikian, pembaharuan yang dimaksud bukan melalui pengadopsian pemikiran-pemikiran Barat, namun dengan membebaskan umat melalui ajaran Islam yang utuh dan sebenarnya.

Menunggangi “Sang Pencerah”
            Patut disayangkan, niat baik yang kemudian melahirkan sebuah karya yang patut dibanggakan, yaitu film Sang Pencerah, justru kemudian dimanfaatkan untuk mempropagandakan wacana-wacana Islam liberal yang sebenarnya belum jelas posisinya terhadap dakwah dan ajaran Muhammadiyah.  Sikap tidak konsisten dari para pengusung wacana Islam liberal ini muncul kembali dengan dukungan yang sangat kuat terhadap film Sang Pencerah yang disertai dengan penggarisbawahan terhadap poin-poin tertentu dalam film tersebut.
            Luthfi Assyaukanie lagi-lagi sigap memberi komentar seputar Muhammadiyah.  Menurut dia, analogi antara ‘agama dan biola’ dalam film Sang Pencerah sudah sangat tepat.  Agama memang layaknya biola.  Jika ia ‘dimainkan’ oleh orang yang mengerti, maka yang keluar adalah nada-nada indah.  Sebaliknya, jika yang menggunakannya adalah orang-orang yang tidak benar-benar paham, maka lahirlah bencana yang tak berkesudahan.  Luthfi bahkan menuduh bahwa tokoh-tokoh agama yang kita saksikan sekarang ini adalah tokoh-tokoh yang dihadapi oleh K.H. Ahmad Dahlan seabad yang lalu; antibiola, anti-Barat, antiasing, dan anti pemikiran baru yang mencerahkan.[11]
            Ahmad Muttaqin, seorang pengajar di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, menulis kesan-kesannya setelah menyaksikan film Sang Pencerah.
In a broader landscape, the moderation and openness legacies of Dahlan are also applicable to quest current hatreds and violence affiliated to religion that currently frequently appear. The destroying of Ahmadiyah mosque, for example, just reminds me of the bitter experience when Dahlan’s first langgar was overthrown. The blame to progressive Muslim figures as sesat (astray) reminds me accusations and derision against Dahlan as Kyai Kafir.[12]
            Senada dengan Ahmad Muttaqin, Ulil Abshar-Abdalla pun ikut menyampaikan apresiasinya terhadap film Sang Pencerah melalui akun Twitter-nya.
Film Sang Pencerah menggambarkan dg baik betapa tak mudahnya membawa gagasan baru dlm bidang agama.  Resiko dianggap kafir besar :)
            Menghadapi fenomena semacam ini, warga Muhammadiyah perlu mewaspadai penunggangan wacana Islam liberal terhadap Muhammadiyah, khususnya dengan memanfaatkan kesuksesan film Sang Pencerah.  Sementara “Islam liberal” sendiri belum tuntas didefinisikan, bahkan pada kenyataannya ia terus berubah tanpa kejelasan sikap yang memadai, maka tidak seharusnya Muhammadiyah membiarkan dirinya dilibatkan dalam arus pemikiran Islam liberal, apalagi ‘Islam Protestanis’.



[1] Adian Husaini & Nuim Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, Cet. I, hlm. 1-2.
[2] Ibid, hlm. 2.
[4] Pramono U. Tanthowi, Muhammadiyah dan Islam Liberal, 26 Januari 2002, http://islamlib.com/id/artikel/muhammadiyah-dan-islam-liberal/.
[5] Saidiman Ahmad, Misi Kenabian Gerakan Pembaruan: Reportase Diskusi Kampus di Bandung, http://islamlib.com/id/artikel/misi-kenabian-gerakan-pembaruan/.
[6] Luthfi Assyaukanie, Dawam dan Citra Muhammadiyah yang Hilang, 29 Januari 2006, http://islamlib.com/id/artikel/dawam-dan-citra-muhammadiyah-yang-hilang/.
[7] Ibid.
[8] Moh. Shofan, Second Muhammadiyah: Refleksi Tiga Tahun Perjalanan JIMM, 12 September 2006, http://islamlib.com/id/artikel/refleksi-tiga-tahun-perjalanan-jimm/.
[9] Ulil Abshar-Abdalla, Merekonstruksi Kembali Gerakan Salafiyyah, 27 Agustus 2008, http://ulil.net/2008/08/27/merekonstruksi-kembali-gerakan-salafiyyah/.
[10] Muhammad Asratillah Senge, Post-Muhammadiyah: Kado Seabad Muhammadiyah, 15 Februari 2010, http://islamlib.com/id/artikel/post-muhammadiyah-kado-seabad-muhammadiyah/.
[12] Ahmad Muttaqin, Spirit of Progressive and Moderation in ‘Sang Pencerah’, The Jakarta Post, 23 Oktober 2010.

0 komentar:

Posting Komentar